
Bukan Asmara, pun Tak Berlogika
October 26, 2008Aku merasa jauh.
Jauh dari diriku sendiri.
Aku seperti keluar dari ragaku, dan melihat seseorang yang begitu serupa dgn ku. Kembaranku, ragaku. Yang entah binal, entah bajingan. Bertemu dengan seseorang di sana, Dia. Di kubang kesenangan dunia. Tanpa skenario, tanpa rencana. Dia, seorang yg benar-benar asing.
Tatapan pertama hanyalah keingintahuan.
Dia bersama kekasihnya. Berdua. Terkadang berdekap mesra. Dia yang entah juga, binal. Entah juga, bajingan.
Tatapan kedua adalah keingintahuan lebih dalam. Ketertarikan menemukan umpan dan mencari kail. Dan dia menatap mataku tajam, walau sedang ada di harum tubuh kekasihnya. Ragaku tahu apa yg sepantasnya dilakukan : menjauh. Seperti yang biasa ku lakukan dengan smua keangkuhan yang menopang dagu ku. Tapi tidak. Tidak untuk malam ini.
Tatapan ketiga adalah ‘mendekatlah’. Dan itu scene selanjutnya. Musik terus mengentak, ragaku terus bergerak. Aku, dia, semakin dekat, semakin rapat. Dan dia, semakin hangat bersama orang yang dia panggil ‘sayang’.
Tatapan keempat, saling menunjukkan kesombongan khas. Tugas -seharusnya- telah selesai. Aku menggoda, dia tergoda. Dia membuai, aku terbuai. Namun aturan rumah iblis berbeda, tak ada kesombongan yang bertahan lama.
Tatapan kelima adalah api yang membara. Sekarang, atau tidak sama skali. Ragaku tak berbatas lagi dengannya. Dia, berdansa perlahan, memeluk kekasihnya dengan satu lengannya. Dan lengan yg lain… mencari jemariku. Mencapainya. Remas. Nakal. Jalang.
Tatapan keenam, nyaris tidak ada. Tatapan berganti sentuhan. Hangat. Ku pandangi kekasihnya, orang tolol yang kami permainkan saat itu. Org itu… aku tak ingin menjadi dia. Aku pun tak rela jika aku lah org itu. Tapi semua harus ada bayarannya. Orang itu yg harus menjadi korban.
Tatapan ketujuh adalah kesunyian dalam keriuhan. Mata nya lama menatapku. Mata ku, betah dalam lembut tatapnya. Retina menangkap sosok, mengirimkan ke otak, dan berfikir bagaimana mendapatkannya malam ini. Hanya, malam ini.
Dan semakin malam semakin tak ada adat. Dia terus menggodaku dan aku melanjutkan rayuanku. Kekasihnya benar-benar tolol. Atau dia sudah terbiasa?
Ratusan manusia di situ, puluhan diantaranya tepat berada di sekitar kami. Itu… tak mengganggu apapun yang sedang dan akan terjadi.
Tak ada rasa malu, gengsi, jaim, atau apalah itu. Semuanya ditanggalkan. Dan orang-orang disana, begitulah adanya.
Setiap tatapan adalah racun.
Setiap senyuman bermakna tak suci.
Setiap gerakan bermaksud menjerat.
Setiap sentuhan, tersembunyi bagi kekasihnya, terekspos bagi semua orang lainnya.
Dan masih saja terasa kurang malam itu. Dan malam semakin habis. Kami berdansa bersebelahan lagi. Lagi. Dan terus.
Ponselku telah berpindah tangan. Ku berikan padanya, dengan lihainya, dan memberi kode tuk memasukkan nomor pribadinya. Dan disambutnya, dengan tak kalah lihainya, dengan tak kalah tak sabar nya.
Setelah itu…
Senyuman terakhir, tetap mengundang.
Lalu, semuanya usai. Aku berhenti, menjauh dan pergi. Saat jarak mulai melebar pun kami masih saling menghujam tatap, tak ingin lepas, tak ingin hilang.
Kali ini benar-benar usai. Keluar dari tempat itu, ku kenakan lagi mantel kesombonganku. Ku kencangkan stola keangkuhanku. Yang selama ini berhasil menjaga diriku dari luar.
Tatapan mata, gerakan tubuh, remasan tangan, senyuman menggoda, bahkan kontak nya yang kudapatkan, sudah tak bermakna apa-apa.
Pertunjukan tlah usai. Pemain-pemain drama telah membungkukkan tubuh mereka, berpamitan.
Di lain waktu, pertunjukkan menghadirkan pemain yang berbeda.
Lagi.. dan lagi.. dan lagi..
Dan aku masih memperhatikan kembaranku, ragaku.
Aku, jiwaku, tidak disana, tak pernah disana.
Atau membohongi diri tak pernah disana.
*sin*
trus..gua mesti komen apa…?
*gubrak*
lah, kan situ yg komen, moso’ nanya ke saya??
=p
*sebenarnya… ini…*
😦
Tatapan matamu pernah meluluhkan hatiku, bahkan dalam waktu 1x24jam hatiku telah bertolak 180 derajat masuk ke dalam jerat matamu…sentuhan tanganmu pertama kali melumpuhkan hati dan pikiranku, bahkan membuang jauh seseorang yang selalu kupertahankan bahkan dengan jiwa ragaku…
akhirnya kubisa mendekap dan memilikimu sepenuhnya, bukan lagi sebatas tatapan dan sentuhan.
Namun hasrat telah berubah dalam waktu yang singkat setelah terpuaskan seperti waktu pertama tatapan itu mengenai hatiku…tatapan itu pergi, pergi menjauh dan terus menjauhi sejauh batas bumi dan langit… Sampai detik ini aku masih merasakan indahnya hatimu waktu itu, dan aku cukup mencintaimu dari jauh. adakah setitik sisa hatimu atau jejak keberadaanku di waktu itu…???
Hari telah berganti tahun pun berlalu dan kurasa keberadaanku telah ter’deteled di recycle bin tanpa bekas… Terima kasih telah menuliskan cerita dalam kehidupanku dan menjadi bagian hidupku.